Bikin cerpen lagi ah...
Bruk... Brak... Bruk... Brak...
"Huahm, apaan sih, pagi-pagi begini ribut banget?!" pekikku tanpa memperdulikan arah suara itu datangnya dari mana. Dan tak lama kemudian terdengar suara teriakan yang membangunkanku dengan sangat marahnya. "Bangun!!! Keluar kau dari rumah ini!!! Dan bawa semua barang-barangmu itu!!!".
Aku yang masih diatas tempat tidur, membuka mata secara malas dan bertanya "ada apa sih?!".
Lalu tiba-tiba byur! Hujan setempat diatas kasurku hingga aku terbangun dan megap-megap seperti ikan Mas Koki. Ku lihat sekeliling, semua lemari sudah dikosongkan olehnya. Pakaianku sudah rapih, dan dia memelototiku dengan penuh amarah. Tanpa pikir panjang, dia mencaciku, memukulku, dan menyeretku hingga keluar rumah, lalu melemparkan tas berisi semua barang-barangku tepat kearahku. dan tak sepatah kata pun yang dapat ku keluarkan dari mulutku, selain bertanya kenapa? Dan dia pun tak mau menjawab.
Lama aku berdiam didepan rumah itu dan berfikir keras, ada apa sebenarnya dengan suamiku?! Kenapa dia memintaku keluar dari rumah?! Padahal aku tidak punya salah apa-apa padanya. "Aku selalu menjadi istri dan Ibu yang baik baginya dan anak-anak. Aku juga tidak pernah menghabiskan uang untuk keperluan yang tidak penting, bahkan terkadang aku tidak makan demi dia dan anak-anak. Lalu kenapa?". Suamiku masih saja berteriak-teriak agar aku pergi meninggalkan rumah itu bersama kenanganku. Dan anak-anak yang melihatku dari dalam rumah, menangis tersedu-sedu. Mereka tak ingin berpisah dariku, Ibu kandungnya. Tapi ayahnya melarangnya untuk keluar dan menemuiku.
Akhirnya aku berdiri dan berlari kerumah orang tuaku, menangis tersedu-sedu dan menceritakan semuanya. Ternyata, memang bukan aku yang salah, melainkan suamiku yang salah. Selama ini dia berpacaran dengan perempuan lain, dan sekarang perempuan itu hamil. Hingga dia bingung dan akhirnya melontarkan kemarahannya padaku. Namun dia hanya menyuruhku keluar dari rumahnya tanpa ada kata talak padaku.
Seminggu terlewati tanpa kehadiran suami dan anak-anakku disisiku. Aku kembali berada dirumah orang tuaku. Menunggu hingga suamiku menalakku, tapi ia tak kunjung datang. Dan aku tak berani datang kerumah kami untuk menemui anak-anak, karena aku pasti kembali diusirnya.
Tapi aku rindu dengan anak-anakku. Akan kutemui nanti mereka sepulang sekolah, batinku. Sesampainya disekolah, ternyata ayahnya telah menjemput. Aku kalah cepat, namun aku tak berani mendekat kesana, pasti hanya omelan yang ku dapat. Maka, aku kembali kerumah orang tuaku dengan rasa kecewa. Namun sesampainya disana, aku melihat sebuah mobil terparkir di depan rumah orang tuaku dan itu mobil yang ku lihat tadi menjemput anak-anakku. Buat apa dia kemari?! Ingin mengajukan talak?! Perasaanku makin tak menentu, tapi aku harus hadapi kenyataan itu. Aku masuk kedalam rumah dengan tersenyum dan mengucap salam. Lalu bertanya dengan sangat hati-hati , "ada apa Abang kemari?!". Dia pun tersenyum dan meminta maaf. "Maaf, saya khilaf. Saya hanya ingin mengantarkan anak-anak ini padamu. Dan jika kau tidak keberatan, aku ingin meminta izin untuk kembali padamu dan hidup bersama mu lagi". Pintanya padaku.
Aku tak tahan menahan rasa amarahku, tapi didepan anak-anak dan orang tuaku, aku tak mau semuanya jadi tambah kacau. Akhirnya, aku berkata, " Jika Abang tidak keberatan, Abang bisa menanyakan kembali pada orang tuaku. Karena waktu Abang mengusir saya dari rumah, sama saja Abang mengembalikan saya ke orang tua saya, namun dengan cara yang tidak sepantasnya Abang lakukan".
Mendengar pembicaraan itu, orang tuaku langsung murka terhadapnya, dan tidak ada pintu maaf baginya. Namun aku langsung berkata "Allah itu Pemaaf Bu, masa kita sebagai manusia tidak bisa memaafkan?".
Ibuku terdiam, lalu berkata, "kalian belum bercerai, dan anak-anak masih berada dalam hak asuh kalian dengan baik. Sekarang terserah dirimu Nak, mau masih mau bersamanya atau tidak, setelah apa yang dilakukannya padamu?!". Aku menarik nafas panjang, dan seakan mengingat sesuatu. Ya, anak yang berada dalam kandungan perempuan lain yang bukan istrinya. Anak itu mesti dilahirkan, dan butuh kasih sayang dari kedua orang tuanya. Akhirnya, aku berkata "Abang, jika tidak keberatan, nikahilah perempuan yang telah kau hamili itu. Lalu, nafkahkan ia dan anakmu, seperti Abang menafkahkan kami".
Si Abang hanya tersenyum dan menangis penuh haru. Begitu pula orang tuaku yang kemudian berkata "Sungguh mulia sekali hati mu Nak, semoga engkau mendapatkan surga terindah dari-Nya". Aku pun mengucap syukur dan tersenyum.
Lalu kami semua pulang kerumah. Selang beberapa minggu, Suamiku memperkenalkan aku dengan kekasihnya itu, seorang wanita cantik dan aduhai. Bila dibandingkan denganku, aku tidak ada apa-apanya. Mungkin, jika aku seorang lelaki, aku sudah jatuh cinta padanya. Aku mengulurkan tangan dan tersenyum saat berkenalan dengannya, meski dalam hatiku menangis.
Dan selang beberapa bulan, kehamilannya sudah semakin besar, sehingga aku menyuruhnya untuk cepat-cepat menikahinya. Suamiku menyetujuinya, akhirnya Akad pun dilaksanakan secara sederhana. Setelah itu, kami tinggal serumah, dimana satu laki-laki dengan dua wanita. Jika ditanya oleh tetangga, maka jawabku adalah dia Adikku yang sedang ditinggal suaminya dinas keluar kota. Namun, seperti pepatah mengatakan "Sepintar-pintarnya bangkai ditutupi, baunya tetap tercium juga".
Tiga bulan berlalu, akhirnya waktu yang ditunggu-tunggu telah tiba. Kami sekeluarga membawanya dengan hati bercampur aduk. Sejam, dua jam, dan seterusnya, kami menunggu hingga anak perempuan cantik mungil muncul dari rahimnya. Setelah lahir, ia cantik dan putih persis Ibunya sehingga dinamakan Jelita. Tapi sayangnya, setelah melahirkan, Ibunya meniggalkan kami untuk selamanya.
Kami pun menangis penuh haru, dan aku berkata dalam batin... inilah surgaku. Hidup dengan seorang laki-laki yang bertanggung jawab serta anak-anak kecil yang polos yang menyanyagiku dan akan membuka pintu surga bagiku kelak.
Lalu aku membisikkan pada almarhumah dan berjanji untuk menjaga anaknya, seperti anak kandungku, aku akan menyanyanginya sepenuh hatiku, karena aku memang menginginkan anak perempuan. Terimakasih saudaraku, lalu aku menciumnya sebelum ia dibawa untuk dimakamkan.
Setelah Jelita besar, kami pun menceritakan semuanya kepadanya. Dan ia bisa menerimanya dengan lapang hati. Karena itu semua berdasarkan Cinta.