Selamat datang

Selamat datang di Blog saya

Senin, 27 Desember 2010

Diva dan Daffa

Diva dan Daffa

Posted by ade_ichax in 18. Oct, 2009, under Cerpen

Ini cerpen saya yang kedua.
Maaf, saya bukan seorang penulis yang handal, alias masih belajar.
Ini hanyalah suatu hasil imajinasi saya. Kalau mungkin ada kesamaan cerita, nama atau yang lainnya, dan salah-salah kata, mohon di maafkan.
Terimakasih mau membaca cerpen saya.


Diva dan Daffa
Malam Minggu kemarin aku bertemu dengannya di ujung jalan itu. Saat itu, bulan nampak malu-malu, dan angin berhembus dengan kencang, namun beberapa pemuda tengah duduk disana sambil bercengkrama dan menghisap rokoknya. “Hufh para perokok, tapi kata ayah aku harus berkenalan dengan mereka!” Kataku dalam hati. “Hi” sapaku, yang kemudian semuanya berpaling menghadapku dan membalas sapaanku dengan berbagai macam rupa, ada yang tersenyum ada pula yang marah, sedang dia hanya membalas dengan tatapan tajamnya sambil terus menghisap rokoknya.
“Saya Diva, anak kepala Desa yang sekolah di kota seberang, saya sedang liburan dan ingin berteman dengan para remaja disini” saatku memperkenalkan diri. Kemudian seorang dari mereka memperkenalkan dirinya dan teman-temannya, “Saya Toni, yang berbaju putih itu Dani, yang tinggi dan pakai topi itu Haris, sedang dia yang memiliki tatapan tajam itu mempunyai nama yang hampir sama denganmu, yakni Daffa.” “Kalau begitu, terimakasih, dan mohon kerjasamanya. ” Jawabku sambil berlalu meninggalkan mereka.
“Liburan kali ini, aku akan memajukan desa, dengan cara membantu para remaja mengajar para adik-adik yang tidak mampu belajar di sekolah. Aku akan mengajak mereka”. Batinku dalam hati. Malam semakin larut, tapi mataku tak mau tertutup. Selain memikirkan bagaimana caranya mengajak mereka, aku juga memikirkan tatapan tajam dari lelaki yang bernama Daffa. “Ih, kenapa aku jadi memikirkannya?” jengkelku.
“Hari sudah hampir pagi, lebih baik aku ambil air wudhu dan sholat” kataku dalam hati. Akhirnya ku mengambil air wudhu yang dingin dan memulai sholat hingga fajar tiba dan ayam-ayam berkokokan menyambut sang mentari.
“Selamat pagi Ayah, Selamat pagi Bunda” sapaku dari balik mukena. “Selamat pagi Nak! Mari kita sholat berjamaah” kata mereka hampir bersamaan. Lalu merekapun sholat berjamaah bersama. Dan dilanjutkan bersiap-siap untuk melaksanakan tugas mereka. Berhubung Diva sedang libur, maka ia membantu Ibundanya pergi kepasar dan berpapasan dengan Daffa.
“Hi Daff, mau kemana?” Sapa Diva serambi jalan menuju pasar. Namun lelaki itu tak berkutik,malah menambah kecepatannya berjalan. “Cih, sombong sekai pemuda itu! Untung dia bukan saudaraku. Kalau dia saudaraku, bisa-bisa kami berantam terus dirumah” geram Diva.
Tiba-tiba, “Diva! Aku ingin bercerita denganmu!” teriak Rani dari kejauhan. “Tunggulah dirumahku, aku harus kepasar dulu!” Balas Diva. Dan Diva pun bergegas mempercepat langkahnya supaya cepat sampai tujuan.
Selang satu jam, “Diva, akhirnya kau datang juga. Aku butuh bantuanmu, segera.” Cerocos Rani saat Diva baru sampai. “Sebentar ya, aku taruh dulu belanjaanku, kemudian kita bicara” Kata Diva. Tak lama kemudian, “Apa yang bisa aku bantu Ran?” tanya Diva sambil menaruh minuman untuk Rani dan duduk di bangku depannya.
“Begini, aku menyukai salah seorang pemuda disini, tetapi pemuda itu sangat pendiam, dan tak seorangpun berani mendekatinya karena tatapan matanya. Aku ingin, kamu membantu agar aku bisa dekat dengannya”. Cerita Rani pada Diva.
“Saya punya ide! Saya, ingin mengajar adik-adik kita di sanggar selama liburan ini. Kebetulan, saya belulm terlalu akrab dengan orang-orang sini. Dan karena kamu ingin dekat dengan pemuda itu, maukah kamu membantu saya mengajaknya untuk mengajar juga?” Jelas Diva.
“ Wah, ide bagus tuh Div! Kalau aku sih tertarik. Nanti akan ku coba mengajak para pemuda-i untuk mengajar juga!” jawab Rani. “Kalau begitu, besok saya akan kerumahmu untuk tahu jawabanmu, dan tolong jangan lupa ajak pemuda itu!”. Kata Diva sambil mengejeknya.
Esok harinya, Diva sudah berada di depan pintu rumah Rani dalam keadaan rapi bak seorang guru sejak 5 menit yang lalu. Sementara, Rani masih bersiap-siap. “Sebentar ya Div!” kata Rani ragu. Dan setelah pintu terbuka, Rani langsung memeluk temannya itu dan berkata “mari kita berangkat!”. Mereka pun menuju kesana dengan riang gembira.
Setelah sampai disana, terlihat banyak anak-anak berkumpul dan bermain menunggu kakak-kakak yang mengajar. Namun tak hanya itu, ada para pemuda-pemudi juga disana. Namun, Diva hanya memperhatikan sesosok pemuda yang Diva kagumi, juga berada disana. Dialah Daffa, yang ternyata sangat pandai dalam bidang matematika. Mereka sama-sama mengajar ditempat itu, untuk mengisi waktu luangnya.
“Ini Ibu Budi” teriak Rani yang mengajarkan Bahasa Indonesia. “This is an apple” teriak Diva yang mengajar Bahasa Inggris. “ 2×4 = 8” teriak Daffa yang mengajarkan Matematika. Sedangkan Haris yang mengajarkan Sejarah berteriak “kita memperingati hari kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus”. Adik-adik itu belajar dengan baik.
Lalu, “Allahuakbar-allahuakbar!” Azan Zuhur telah dikumandangkan. “Saatnya kita sholat, mari ambil air wudhunya, dan kita sholat berjamaah” kata Diva dan Rani. Sementara Daffa malah pergi meninggalkan kelas, maka Harislah yang jadi imamnya.
Selama ini Diva selalu memperhatikan gerak-gerik Daffa. Mereka tak pernah saling sapa, dan bicara. Tapi Diva yakin, dibalik kesombongannya itu, sebenarnya Daffa adalah pemuda baik hati yang sedang menyimpan banyak beban.
Sebulan hampir berlalu, sebentar lagi Diva masuk sekolah. Dan tak ada yang berubah dari Daffa yang pendiam dengan tatapan matanya yang tajam, sementara Diva hanya memperhatikannya dari kejauhan. Akhirnya Diva memberanikan diri untuk menyapa Daffa dan berbicara dengannya.
“Hi Daff, boleh saya bicara denganmu? Sepertinya ada yang mengganjal di hatimu? Maukah kau cerita kepadaku? Mungkin aku bisa bantu?!” cerocos Diva. Tapi lelaki itu tetap membungkam mulutnya dan meninggalkan Diva seorang diri.
Tak ada yang bisa membuka mulut Daffa selain seorang Ibu yang membesarkannya dan sangat ia sayangi, Bu Harum, karena Daffa tak mengenal siapa orang tuanya. Ia dibesarkan dirumah panti asuhan sejak kecil karenaada yang berkata “ jika engkau memiliki anak kembar perempuan dan laki-laki, maka pisahkanlah sewaktu kecil, dan jodohkanlah saat mereka dewasa nanti”.
Malam hari, dirumah Diva, “Ayah, bagaimana kalau kita bicarakan dengan Diva tentang perjodohannya dengan Daffa? Sekarang mereka sudah besar, sudah seharusnya mereka tahu, bahwa mereka kembar.” Kata Ibunda Diva kepada Ayahnya saat Diva sudah tertidur, karena esok ia sudah mulai sekolah lagi.
“Tapi, mereka baru akan lulus tahun depan Bu! Dan apa Diva mau menerimanya?” kata sang Ayah. “Kita berdoa saja, semoga iya. Dan sekarang, lebih baik kita tidur” Ajak sang Bunda yang diikuti Ayahnda.
Pagi harinya. “ Ayah, Bunda! Diva pamit berangkat!” Teriaknya, tapi tak ada yang menyahutnya. “Biarlah, yang penting aku sudah pamit” batin Diva yang serambi berjalan sambil bersiul-siul kecil. Karena sekarang ia sudah masuk sekolah lagi. Ditengah jalan Diva bertemu Daffa yang sedang menuju bukit tempat sanggar yang Diva jalankan bersama teman-teman.
Lain dari biasanya, “Div, kamu mau kemana?” tanya Daffa sambil menunduk malu. “Tumben, kau bertanya? Saya mau kesekolah”. Jawab Diva. “Berarti, kamu tidak akan mengajar lagi?” tanyanya. “Kemungkinan aku akan mengajar mengaji di sore hari sepulang sekolah. Jika kau tak keberatan, maukah kau menggantikanku? Dan kita bisa bertemu di sore hari untuk berbincang.” Kata Diva. Daffa hanya mengangguk dan melanjutkan perjalannya.
“Awal yang baik” batin Diva. “Diva, tunggu aku!” Teriak Rani. Daffa yang masih berada dalam satu jalur tapi arah yang bebeda, langsung mengangkat kepalanya dan menatapnya tajam saat Rani lewat. Tapi Rani bukannya menghindar dari tatapannya, malah tertunduk malu dan tersenyum.
“Va, tadi Daffa ngeliatin aku lho!” cerita Rani. “Ups, orang yang Rani suka ternyata Daffa, duh kalau Rani tahu tadi aku berbincang dengannya, bisa-bisa aku disangka teman makan teman. Diam saja lah”, teriak Diva dalam hati. Lalu Diva tersenyum pada Rani.
Sore hari, Diva sudah berada di sanggar untuk mengajar. Tapi ia tak menemukan sosok yang ia cari. Ia bertanya pada semuanya, tak ada yang tahu juga kemana Daffa pergi. Padahal tadi pagi mereka sudah janjian. “Kemana ya dia? Bisa-bisanya ia ingkar janji?” tanya Diva pada dirinya sendiri.
Hari semakin larut, Diva masih tak menemukan Daffa. Padahal sudah waktunnya jam pulang. Tapi, saat ia keluar dari sanggar, ia melihat laki-laki di depannya tertunduk malu dan tersenyum. Diva dengan nada sedikit marah berkata, “kamu dari mana saja sih?! Ku pikir kamu mengingkari janjimu!”
Daffa hanya tersenyum, dan berkata “kamu tahu, Daffa tak pernah mengingkari janji!. Aku baru pulang sekolah. Tadi, saat kamu berkata kita bisa bertemu setelah itu dan berbincang-bincang, maka setelah pulang, aku langsung mengayuh sepedaku dengan cepat agar bisa tepat waktu sampai disini. Alhamdulillah sampai” .
Lalu merekapun berjalan bersama menuju rumah Diva. Saat itu Ayah dan Bunda sedang duduk di teras rumah setelah sholat Magrib bersama. Dan mereka tersenyum saat melihat Diva dan Daffa jalan bersama. Dengan ramahnya Daffa dan Diva mencium kedua tangan Ibu dan Bapaknya.
Lalu Bapaknya berpesan “Daffa, jika kau menyayangi Diva, jagalah ia selalu!Dan perbaikilah dirimu agar kelak bisa menjadi Imam bagi Diva!”. Mereka pun tersenyum bahagia bersama. Kemudian Daffa pamit pulang, dan mulai memperbaiki dirinya.
Ia mulai sholat, mulai mengurangi rokoknya, dan bisa ramah pada semua orang. Berkat Diva yang selalu berada disampingnya dan mengingatkannya. Rani yang telah mencium keharmonisan pasangan itu, maka ia bergerak mundur. Dan tersenyum bahagia untuk sahabatnya itu.
Setahun sudah terlewati, Diva lulus SMA, dan Daffa lulus STM. Mereka masih juga mengajar adik-adik itu. Dan mereka berencana menikah, lalu mengelola sanggar tersebut. Maka bulan berikutnya, Ibu Harum, selaku Ibu panti yang telah merawat Daffa, pergi kerumah Diva untuk melamarnya.
Tapi, betapa terkejutnya beliau, ketika melihat kemiripan diantara Diva dan Daffa. Maka, diberitahukannya Bu Harum oleh Ibunda Diva bahwa Daffa ternyata juga anaknya. Namun, karena ingin melihat mereka bahagia, maka mereka menutupinya.
Ibu Harum pun setuju. Tapi, pada saat Diva dan Daffa menikah, disitulah mereka tahu bahwa mereka kembar. Namun, mereka tidak marah, melainkan berterimakasih kepada kedua orangtuanya itu karena telah memisahkan mereka sewaktu kecil, namun disandingkan disaat dewasa. Kemudian mereka hidup bahagia disertai keberhasilannya mengelola sanggar yang makin bertambah siswanya.

Gendut itu Menarik


Gendut itu Menarik

Posted by ade_ichax in 08. Oct, 2009, under Cerpen

Ini cerpen buatanku…
Riri baru saja membeli sekotak es krim dan kemudian memasukkannya ke dalam kulkas. Lalu ia menuju kamarnya dan berganti pakaian. Kemudian tertidur pulas hingga waktu sorepun tiba. Berbeda dengan kakaknya, Jenna bertubuh mungil dan cantik. Sehingga banyak para lelaki yang mengincarnya.
Malam hari tiba, semuanya berkumpul di meja makan sambil bercengkrama. Sementara yang lain makan malam dengan asiknya, Riri malah melirik ke arah kulkas tempat ia menaruh es krim. Dan ia makan dengan terburu-buru agar cepat makan es krim.
Setelah semua selesai, “Akhirnya, aku bisa juga makan es krim” kata Riri. Lalu Riri mangambil sendok dan melahapnya. “Ri, bagi adikmu, ayah, dan Ibu donk! Jangan melahapnya sendiri! Nanti tambah gemuk lho!” Teriak sang Ibu.  Lalu dengan malasnya Riri mengambil gelas dan membaginya.
Makan malam pun usai dan mereka kembali ke kamarnya masing-masing. “Huh Ibu, ga bisa liat orang seneng!’ dengus Riri dalam kamarnya. Lalu dia melihat cermin dan berkata, “tapi mungkin Ibu benar? Harusnya aku bisa seperti Jenna yang mungil itu dan mendapat perhatian para lelaki”. “Aku harus kurus!” Semangat Riri kian membara.
Pagi harinya, “Ri, ayo bangun! Sudah pagi, nanti kamu telat lho!” Teriak Ibunya. Sementara itu di dalam kamar, Riri tengah asik berkecimpung dengan dunia mimpinya. “Jenna, tolong bangunkan Kakakmu, dia pasti masih tidur” suruh Ibunya kepada Jenna. “Baik BU”. Jawab Jenna sambil melangkah ke kamar Kakaknya itu.
“K, bangun! Ayo berangkat sekolah!” teriak Jenna sambil mengetuk pintu kamar Kakaknya itu. “Uahm, kepotong deh mimpinya, lagi enak juga” batin Riri sambil menguap.  Kemudian membuka pintu dan mandi dengan terburu-buru karena waktu sudah menunjukkan pukul 6 pagi. Setelah itu mereka langsung berangkat pamitan pada Ibunya tanpa sarapan.
Alhasil sesampainya di sekolah, mereka kelaparan. “Jen, ke kantin dulu yuk?! Laper nih, belum sempet sarapan tadi!” ajak Riri kepada adiknya. “Kakak sih kesiangan, siapa suruh tidur malam? Ga mau ah. Aku sudah kenyang”jawab Jenna serambi menuju kelasnya, yang diikuti oleh beberapa lelaki.
“Ri, mau kemana kamu? Kelas kita kan diatas?!”Sapa Fanya teman sebangkunya. “Kantin yuk? Temenin gue makan! Laper nih!” ajak Riri padanya. “Tapi, sebentar lagi kan bel masuk? Kamu beli makanan ringan saja, nanti pas istirahat baru kita makan bersama”. Suruh Fanya. “Hmm, baiklah.” Kata Riri.
Bel pun berbunyi dan merekapun belajar dengan tertib. Sayangnya, perut Riri tak bisa diajak ikut tertib, selalu aja berbunyi. Sejam berlalu, dua jam berlalu, sampai akhirnya jam istirahat pun tiba. Dan Riri langung tancap gas menuju kantin, takut ga kebagian tempat duduk.
“Bu, bakso 2 mangkok sama teh botol 2″ teriak Riri pada Ibu kantin. Sementara disudut sana duduk seorang pria tampan dengan seorang yang sangat dikenal dan disayanginya, Jenna yang hanya memesan 1 botol air putih dan makanan ringan.
“Kamu  ngeliatin siapa sih Ri? Koq tampangnya serius gitu?” tanya Fanya. “Tuh, disana!” jawabnya dengan mulut penuh makanan. “Siapa? Jenna? Apa cowok itu?” tanyanya lagi. Riri hanya mengangguk dan meneruskan makannya. Lalu bel masukpun berbunyi. Tapi Riri lari ke kamar mandi dahulu sebelum masuk kelas.
“Kenapa sih semua cowok ngeliatin Jenna? Bukan gue?” tanya Riri pada kaca saat ia bercermin di kamar mandi. “Karena lo, gendut!” celetuk geng rese di sekolahan itu. Jenna ternyata mendengar omongan Kakaknya itu dan geng rese, lalu membela kakaknya.
“Jangan jelek-jelekin Kakak gue!” Teriak Jenna pada geng rese itu. “Wuih, ada pembelanya nih? Cabut yuk?!” kata salah satu dari mereka. Mereka pun meninggalkan Riri dan Jenna di kamar mandi berdua. “K, sudah waktunya masuk kelas! Ayo,nanti diomelin guru!” Ajak Jenna. Mereka pun bergegas lari menuju kelasnya masing-masing, dan belajar dengan tenang.
Jam pulang pun tiba. Jenna menunggu didepan kelasnya, tampak ia menunggu seseorang. Sedangkan dikejauhan sana Riri sedang memperhatikan adiknya itu. “Andai, gue bisa seperti Jenna. Mungkin sekarang aku sedang dikelilingi banyak lelaki.” Batin Riri.
Tiba-tiba “Dor”, Fanya mengagetkannya dari belakang dan bertanya “kenapa lagi sih kamu masih memperhatikan Jenna?”. Riri yang serentak kaget menjawab dengan gagap “Ga apa-apa, gue cuma merasa sangat jauh berbeda dengannya. Dia sering kali dikelilingi banyak cowok, sementara gue, satu aja belom ada”.
Lalu sahabatnya itu bertanya dengan terheran-heran “Jadi, kamu iri sama Jenna adikmu sendiri?!”. Riri hanya mengangguk malu. “Mana Riri yang aku kenal? Dia tak pernah malu sama dirinya sendiri!” Teriak Fanya. Riri hanya terdiam dan menunduk. Kemudian Fanya mengajaknya pulang bersama.
Sesampainya dirumah, “Riri, Jenna mana? ” tanya Ibunya. Riri hanya mengangkat bahunya tanda tak tahu lalu pergi ke kamar dan berganti pakaian. Tak seperti biasanya, sekarang setelah berganti pakaian Riri mengurung dirinya di kamar sambil mengerjakan PR. Sementara Ibunya kebingungan mencari adiknya, sampai lupa makan siang.
Malam harinya, Riri keluar kamar karena perutnya sudah keroncongan. Tapi kali ini ia hanya mengambil beberapa buah dan sebotol air putih, lalu kembali kekamarnya. “Ri, kamu ga makan?” Tanya Ibunya. Riri menggeleng dan melangkah pergi. Sedang Jenna habis kena omelan karena baru  pulang tanpa kabar terlebih dahulu.
Pagi hari, “Riri, jangan lupa sarapannya!” teriak ibunya dari dapur. Tapi Riri hanya mengambil setangkup roti dan memakannya selama di perjalanan. Ibu, Ayah, dan Jenna heran melihat tingkah Riri yang tak seperti biasanya.
Sesampainya di sekolah, Riri juga langsung menuju kelas dan duduk. Begitu pula saat istirahat. Padahal, perutnya dari tadi sudah tak bisa diajak kompromi, alias sudah bunyi terus. Tapi ia terus menahan rasa laparnya itu hingga jam pulang.
Tapi dirumah, ia juga hanya makan setengah piring nasi plus beberapa lauk pauk dan tak makan malam. Hampir tiga hari ia melakukan hal seperti itu terus menerus hingga akhirnya jatuh sakit. Padahal biasanya Riri tak peduli dengan tubuh gempalnya itu, bahkan ia merasa selalu bisa membuat orang lain memerhatikannya.
Fanya sangat kehilangan sosok tubuh gempal sahabatnya itu, dan akhirnya sepulang sekolah ia memutuskan berkunjung kerumah Riri. Riri senang di kunjungi sahabatnya itu, dan  ia menyesal telah menyiksa dirinya sendiri hanya agar disukai para lelaki.
Sudah dua hari Riri tak masuk sekolah setelah kunjungannya Fanya. Teman-teman sekelasnya ternyata juga mengkhawatirkannya, terutama Fadli kecengan Riri yang ternyata diam-diam juga mengagumi sosok Riri yang cuek namun baik hati.
Akhirnya Fadli memberanikan diri untuk bercerita pada Fanya dan memutuskan untuk menjenguk Riri sepulang sekolah. Ternyata dirumah Riri, ia sedang asik-asikan menonton TV sambil makan cemilan. “Riri, kamu kenapa ga masuk sekolah kalau sudah sembuh?” Omel Fanya sesampai dirumahnya. “Gue belum sembuh total, masih lemes!” jawab Riri sekenanya.
“Kalau memang belum sembuh total, harusnya kan kamu masih di dalam kamar” selidik Fanya. “Gue bosen dikamar mulu! Lagian, kata dokter, gue harus banyak makan biar cepet sembuh!” celetuk Riri dengan mulut penuh cemilan.
Tapi Riri tak menyangka, kalau di balik kunjungan Fanya kali ini, ia membawa seseorang untuknya.,Seorang lelaki tampan tengah menunggunya di ruang tamu. Kemudian Fanya, tanpa basa-basi, langsung menarik Riri ke ruang tamu.
Riri yang melihat Fadli langsung masuk kembali ke ruang tengah dan bertanya “ngapain diadisini?”. “sudah, temuin saja, dia mau jengukin kamu katanya!” jawab Fanya.
Akhirnya dengan malu-malu Riri menemui Fadli dan bertanya,  “ngapain lo kesini?”. “Ngejenguk elo!” jawab Fadli. “Hmm, tumben-tumbenan? Ada apa nih?” curiga Riri. Fanya yang melihat dari balik sekat yang memisahkan ruang tamu dan ruang tengah itu, tertawa sendiri.
Setelah berdiam agak lama, akhirnya Fadli mengangkat bicara “sebenarnya, gue kesini karena kangen sama loe. Gue khawatir sama loe, takut kenapa-napa.” Riri menunduk malu namun masih curiga. “Gue? Gue kira loe suka sama Jenna, adik gue!” tanya Riri.
Fadli pun menggelengkan kepalanya dengan penuh keyakinan, dan berkata. “Gue suka sama loe Ri, bukan Jenna. Gue deketin Jenna, karena gue mau deket sama loe. Memangnya Jenna ga pernah cerita sama  loe?”. Riri menggeleng dan kembali bertanya “kenapa gue? Gue kan gendut, ga kaya cewek-cewek lain diluar sana yang langsing, tinggi, dan cantik bak model!”.
Kemudian Fadli memegang tangan Riri, dan berucap “Karena itulah gue suka sama loe. Loe menarik! Beda sama-sama cewek lain! Maksud gue, kalau loe kurus, malah jelek, ga menarik lagi! Jadi, jangan coba-coba ngurusin badan loe lagi ya Ri!”
Riri pun tersipu malu dan tersenyum. Lalu mengangkat kepalanya dan bertanya,” jadi menurut loe gendut itu menarik?”. Fadli pun mengangguk. Fanya yang diam-diam  memperhatikan kedua sahabatnya itu langsung menggoda mereka “cie-cie. Benarkan kataku Ri? Tak perlu jadi kurus kalo memang mau dikejar-kejar para lelaki”.
Kemudian mereka bertiga tertawa lepas. Lalu Ibu  menyuruh mereka makan siang, dan Riri makan dengan lahapnya seperti sebelum ia sakit. Ibupun bertanya “Riri, katanya mau kurus? Koq makannya segitu banyak?” Riri hanya tersenyum, lalu berkata dengan mulut penuh “Ga ah Bu! Gendut itu menarik!”  kemudian melanjutkan  makannya sampai habis.