Diva dan Daffa
Ini cerpen saya yang kedua.
Maaf, saya bukan seorang penulis yang handal, alias masih belajar.
Ini hanyalah suatu hasil imajinasi saya. Kalau mungkin ada kesamaan cerita, nama atau yang lainnya, dan salah-salah kata, mohon di maafkan.
Terimakasih mau membaca cerpen saya.
Diva dan Daffa
Malam Minggu kemarin aku bertemu dengannya di ujung jalan itu. Saat itu, bulan nampak malu-malu, dan angin berhembus dengan kencang, namun beberapa pemuda tengah duduk disana sambil bercengkrama dan menghisap rokoknya. “Hufh para perokok, tapi kata ayah aku harus berkenalan dengan mereka!” Kataku dalam hati. “Hi” sapaku, yang kemudian semuanya berpaling menghadapku dan membalas sapaanku dengan berbagai macam rupa, ada yang tersenyum ada pula yang marah, sedang dia hanya membalas dengan tatapan tajamnya sambil terus menghisap rokoknya.
“Saya Diva, anak kepala Desa yang sekolah di kota seberang, saya sedang liburan dan ingin berteman dengan para remaja disini” saatku memperkenalkan diri. Kemudian seorang dari mereka memperkenalkan dirinya dan teman-temannya, “Saya Toni, yang berbaju putih itu Dani, yang tinggi dan pakai topi itu Haris, sedang dia yang memiliki tatapan tajam itu mempunyai nama yang hampir sama denganmu, yakni Daffa.” “Kalau begitu, terimakasih, dan mohon kerjasamanya. ” Jawabku sambil berlalu meninggalkan mereka.
“Liburan kali ini, aku akan memajukan desa, dengan cara membantu para remaja mengajar para adik-adik yang tidak mampu belajar di sekolah. Aku akan mengajak mereka”. Batinku dalam hati. Malam semakin larut, tapi mataku tak mau tertutup. Selain memikirkan bagaimana caranya mengajak mereka, aku juga memikirkan tatapan tajam dari lelaki yang bernama Daffa. “Ih, kenapa aku jadi memikirkannya?” jengkelku.
“Hari sudah hampir pagi, lebih baik aku ambil air wudhu dan sholat” kataku dalam hati. Akhirnya ku mengambil air wudhu yang dingin dan memulai sholat hingga fajar tiba dan ayam-ayam berkokokan menyambut sang mentari.
“Selamat pagi Ayah, Selamat pagi Bunda” sapaku dari balik mukena. “Selamat pagi Nak! Mari kita sholat berjamaah” kata mereka hampir bersamaan. Lalu merekapun sholat berjamaah bersama. Dan dilanjutkan bersiap-siap untuk melaksanakan tugas mereka. Berhubung Diva sedang libur, maka ia membantu Ibundanya pergi kepasar dan berpapasan dengan Daffa.
“Hi Daff, mau kemana?” Sapa Diva serambi jalan menuju pasar. Namun lelaki itu tak berkutik,malah menambah kecepatannya berjalan. “Cih, sombong sekai pemuda itu! Untung dia bukan saudaraku. Kalau dia saudaraku, bisa-bisa kami berantam terus dirumah” geram Diva.
Tiba-tiba, “Diva! Aku ingin bercerita denganmu!” teriak Rani dari kejauhan. “Tunggulah dirumahku, aku harus kepasar dulu!” Balas Diva. Dan Diva pun bergegas mempercepat langkahnya supaya cepat sampai tujuan.
Selang satu jam, “Diva, akhirnya kau datang juga. Aku butuh bantuanmu, segera.” Cerocos Rani saat Diva baru sampai. “Sebentar ya, aku taruh dulu belanjaanku, kemudian kita bicara” Kata Diva. Tak lama kemudian, “Apa yang bisa aku bantu Ran?” tanya Diva sambil menaruh minuman untuk Rani dan duduk di bangku depannya.
“Begini, aku menyukai salah seorang pemuda disini, tetapi pemuda itu sangat pendiam, dan tak seorangpun berani mendekatinya karena tatapan matanya. Aku ingin, kamu membantu agar aku bisa dekat dengannya”. Cerita Rani pada Diva.
“Saya punya ide! Saya, ingin mengajar adik-adik kita di sanggar selama liburan ini. Kebetulan, saya belulm terlalu akrab dengan orang-orang sini. Dan karena kamu ingin dekat dengan pemuda itu, maukah kamu membantu saya mengajaknya untuk mengajar juga?” Jelas Diva.
“ Wah, ide bagus tuh Div! Kalau aku sih tertarik. Nanti akan ku coba mengajak para pemuda-i untuk mengajar juga!” jawab Rani. “Kalau begitu, besok saya akan kerumahmu untuk tahu jawabanmu, dan tolong jangan lupa ajak pemuda itu!”. Kata Diva sambil mengejeknya.
Esok harinya, Diva sudah berada di depan pintu rumah Rani dalam keadaan rapi bak seorang guru sejak 5 menit yang lalu. Sementara, Rani masih bersiap-siap. “Sebentar ya Div!” kata Rani ragu. Dan setelah pintu terbuka, Rani langsung memeluk temannya itu dan berkata “mari kita berangkat!”. Mereka pun menuju kesana dengan riang gembira.
Setelah sampai disana, terlihat banyak anak-anak berkumpul dan bermain menunggu kakak-kakak yang mengajar. Namun tak hanya itu, ada para pemuda-pemudi juga disana. Namun, Diva hanya memperhatikan sesosok pemuda yang Diva kagumi, juga berada disana. Dialah Daffa, yang ternyata sangat pandai dalam bidang matematika. Mereka sama-sama mengajar ditempat itu, untuk mengisi waktu luangnya.
“Ini Ibu Budi” teriak Rani yang mengajarkan Bahasa Indonesia. “This is an apple” teriak Diva yang mengajar Bahasa Inggris. “ 2×4 = 8” teriak Daffa yang mengajarkan Matematika. Sedangkan Haris yang mengajarkan Sejarah berteriak “kita memperingati hari kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus”. Adik-adik itu belajar dengan baik.
Lalu, “Allahuakbar-allahuakbar!” Azan Zuhur telah dikumandangkan. “Saatnya kita sholat, mari ambil air wudhunya, dan kita sholat berjamaah” kata Diva dan Rani. Sementara Daffa malah pergi meninggalkan kelas, maka Harislah yang jadi imamnya.
Selama ini Diva selalu memperhatikan gerak-gerik Daffa. Mereka tak pernah saling sapa, dan bicara. Tapi Diva yakin, dibalik kesombongannya itu, sebenarnya Daffa adalah pemuda baik hati yang sedang menyimpan banyak beban.
Sebulan hampir berlalu, sebentar lagi Diva masuk sekolah. Dan tak ada yang berubah dari Daffa yang pendiam dengan tatapan matanya yang tajam, sementara Diva hanya memperhatikannya dari kejauhan. Akhirnya Diva memberanikan diri untuk menyapa Daffa dan berbicara dengannya.
“Hi Daff, boleh saya bicara denganmu? Sepertinya ada yang mengganjal di hatimu? Maukah kau cerita kepadaku? Mungkin aku bisa bantu?!” cerocos Diva. Tapi lelaki itu tetap membungkam mulutnya dan meninggalkan Diva seorang diri.
Tak ada yang bisa membuka mulut Daffa selain seorang Ibu yang membesarkannya dan sangat ia sayangi, Bu Harum, karena Daffa tak mengenal siapa orang tuanya. Ia dibesarkan dirumah panti asuhan sejak kecil karenaada yang berkata “ jika engkau memiliki anak kembar perempuan dan laki-laki, maka pisahkanlah sewaktu kecil, dan jodohkanlah saat mereka dewasa nanti”.
Malam hari, dirumah Diva, “Ayah, bagaimana kalau kita bicarakan dengan Diva tentang perjodohannya dengan Daffa? Sekarang mereka sudah besar, sudah seharusnya mereka tahu, bahwa mereka kembar.” Kata Ibunda Diva kepada Ayahnya saat Diva sudah tertidur, karena esok ia sudah mulai sekolah lagi.
“Tapi, mereka baru akan lulus tahun depan Bu! Dan apa Diva mau menerimanya?” kata sang Ayah. “Kita berdoa saja, semoga iya. Dan sekarang, lebih baik kita tidur” Ajak sang Bunda yang diikuti Ayahnda.
Pagi harinya. “ Ayah, Bunda! Diva pamit berangkat!” Teriaknya, tapi tak ada yang menyahutnya. “Biarlah, yang penting aku sudah pamit” batin Diva yang serambi berjalan sambil bersiul-siul kecil. Karena sekarang ia sudah masuk sekolah lagi. Ditengah jalan Diva bertemu Daffa yang sedang menuju bukit tempat sanggar yang Diva jalankan bersama teman-teman.
Lain dari biasanya, “Div, kamu mau kemana?” tanya Daffa sambil menunduk malu. “Tumben, kau bertanya? Saya mau kesekolah”. Jawab Diva. “Berarti, kamu tidak akan mengajar lagi?” tanyanya. “Kemungkinan aku akan mengajar mengaji di sore hari sepulang sekolah. Jika kau tak keberatan, maukah kau menggantikanku? Dan kita bisa bertemu di sore hari untuk berbincang.” Kata Diva. Daffa hanya mengangguk dan melanjutkan perjalannya.
“Awal yang baik” batin Diva. “Diva, tunggu aku!” Teriak Rani. Daffa yang masih berada dalam satu jalur tapi arah yang bebeda, langsung mengangkat kepalanya dan menatapnya tajam saat Rani lewat. Tapi Rani bukannya menghindar dari tatapannya, malah tertunduk malu dan tersenyum.
“Va, tadi Daffa ngeliatin aku lho!” cerita Rani. “Ups, orang yang Rani suka ternyata Daffa, duh kalau Rani tahu tadi aku berbincang dengannya, bisa-bisa aku disangka teman makan teman. Diam saja lah”, teriak Diva dalam hati. Lalu Diva tersenyum pada Rani.
Sore hari, Diva sudah berada di sanggar untuk mengajar. Tapi ia tak menemukan sosok yang ia cari. Ia bertanya pada semuanya, tak ada yang tahu juga kemana Daffa pergi. Padahal tadi pagi mereka sudah janjian. “Kemana ya dia? Bisa-bisanya ia ingkar janji?” tanya Diva pada dirinya sendiri.
Hari semakin larut, Diva masih tak menemukan Daffa. Padahal sudah waktunnya jam pulang. Tapi, saat ia keluar dari sanggar, ia melihat laki-laki di depannya tertunduk malu dan tersenyum. Diva dengan nada sedikit marah berkata, “kamu dari mana saja sih?! Ku pikir kamu mengingkari janjimu!”
Daffa hanya tersenyum, dan berkata “kamu tahu, Daffa tak pernah mengingkari janji!. Aku baru pulang sekolah. Tadi, saat kamu berkata kita bisa bertemu setelah itu dan berbincang-bincang, maka setelah pulang, aku langsung mengayuh sepedaku dengan cepat agar bisa tepat waktu sampai disini. Alhamdulillah sampai” .
Lalu merekapun berjalan bersama menuju rumah Diva. Saat itu Ayah dan Bunda sedang duduk di teras rumah setelah sholat Magrib bersama. Dan mereka tersenyum saat melihat Diva dan Daffa jalan bersama. Dengan ramahnya Daffa dan Diva mencium kedua tangan Ibu dan Bapaknya.
Lalu Bapaknya berpesan “Daffa, jika kau menyayangi Diva, jagalah ia selalu!Dan perbaikilah dirimu agar kelak bisa menjadi Imam bagi Diva!”. Mereka pun tersenyum bahagia bersama. Kemudian Daffa pamit pulang, dan mulai memperbaiki dirinya.
Ia mulai sholat, mulai mengurangi rokoknya, dan bisa ramah pada semua orang. Berkat Diva yang selalu berada disampingnya dan mengingatkannya. Rani yang telah mencium keharmonisan pasangan itu, maka ia bergerak mundur. Dan tersenyum bahagia untuk sahabatnya itu.
Setahun sudah terlewati, Diva lulus SMA, dan Daffa lulus STM. Mereka masih juga mengajar adik-adik itu. Dan mereka berencana menikah, lalu mengelola sanggar tersebut. Maka bulan berikutnya, Ibu Harum, selaku Ibu panti yang telah merawat Daffa, pergi kerumah Diva untuk melamarnya.
Tapi, betapa terkejutnya beliau, ketika melihat kemiripan diantara Diva dan Daffa. Maka, diberitahukannya Bu Harum oleh Ibunda Diva bahwa Daffa ternyata juga anaknya. Namun, karena ingin melihat mereka bahagia, maka mereka menutupinya.
Ibu Harum pun setuju. Tapi, pada saat Diva dan Daffa menikah, disitulah mereka tahu bahwa mereka kembar. Namun, mereka tidak marah, melainkan berterimakasih kepada kedua orangtuanya itu karena telah memisahkan mereka sewaktu kecil, namun disandingkan disaat dewasa. Kemudian mereka hidup bahagia disertai keberhasilannya mengelola sanggar yang makin bertambah siswanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar